Terjadinya
Konflik antara TNI dan Polri
Diajukan
untuk tugas Ilmu Sosial Dasar
OLEH :
MOHAMMAD AGUNG (
14315271 )
KELAS : 1TA03
DOSEN : Bapak
EMILIANSHAN BANOWO
UNIVERSITAS
GUNADARMA
Jalan Margonda Raya No.
100 Pondok Cina, Depok 16424
2015
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah S.W.T yang telah melimpahkan rahmad,taufiq dan
hidayahNya, sehinga penulisan makalah dengan judul Hilangnya Budaya Indonesia
telah terselesaikan dengan baik.
Penyusunan
makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Ilmu Sosial Dasar serta untuk
memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Sehubungan
dengan banyaknya pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, dan saran,maka
penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1.
Emilian Shah Banowo , selaku guru
pembimbing mata kuliah Ilmu Sosial Dasar UNIVERSITAS GUNADARMA yang telah
memberikan petunjuk dalam penyelesaian makalah ini.
2. Teman – teman kelas 1TA03 yang telah
berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.
Penulis
memohon maaf jika dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu, penulis menharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan penyusunan makalah ini. Penulis berharap Karya
Tulis ini dapat bermanfaat bagi penulis
sendiri pada khususnya dan pembaca pada umumnya
Bekasi,
1 Oktober 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar
............................................................................................... i
Daftar
isi...........................................................................................................
ii
Bab
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah........................................................................... 6
1.2 Tujuan....................................................................................................... 6
1.3 Metode
Penulisan..................................................................................... 6
Bab
2 PERMASALAHAN
2.1
kerangka teori.............................................................................................
7 - 8
Bab
3 PEMBAHASAN
3.1
. ANALISIS
MALASAH...................................................................... 9
- 12
3.2 Akar
Permasalahan Yang Terjadi antara TNI dan Polri...................... 13 – 15
3.3 penyelesaian
masalah.............................................................................
16 - 18
Bab
4 KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan...............................................................................................
4.2
Saran......................................................................................................... 1
Daftar
.............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATARBELAKANG
Dalam diskusi terbatas di Global
Future Institute (GFI), Jakarta pimpinan Hendrajit, diperoleh pointers bahwa
konflik internal di suatu negara sesungguhnya cuma TEMA dari sebuah SKEMA yang
hendak ditancapkan oleh sang Pemilik Hajatan. Artinya apapun bentuk dan warna,
baik itu konflik vertikal maupun horizontal, hanya susulan daripada isu-isu
yang sebelumnya ditebar (tersebar) dipublik. Selanjutnya apakah sukses atau
tidak, berhasil atau gagal dari sebuah tema berubah menjadi skema, sangat tergantung
daripada segenap komponen bangsa menyikapi. Sedang pada diskusi terbatas di
forum KENARI (Kepentingan Nasional RI) pimpinan Dirgo D Purbo, pakar
perminyakan, tampaknya lebih “keras” menyikapi konflik-konflik yang sekarang
marak terjadi. Conflict is protection oil flow and blockade somebody
else oil flow. Ya, konflik diletuskan hanya sebagai alih perhatian guna
memblokade kepentingan orang lain dan bahkan melindungi skema aliran minyak
agar tidak digugat siapapun, sebab bangsa tersebut disibukkan oleh isu dan
tema-tema yang dibuat. Benang merah pointers diskusi di atas terlihat sama,
yaitu konflik cuma sekedar tema belaka!
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Mengetahui
Terjadinya Konflik TNI dan Polri
2. Penyebab
utama terjadinya Konflik tersebut
3. Mencari
permasalahan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kerangka
Teori
a. Menurut Berstein, konflik
merupakan suatu pertentangan, perbedaan yang tidak
dapat dicegah yang mempunyai potensi yang memberi pengaruh positif dan negatif.
b. Dr. Robert
M.Z Lawang, konflik adalah perjuangan untuk memperoleh nilai, status,
kekuasaan, di mana tujuan dari mereka yang berkonflik, tidak hanya memperoleh
keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya.
c. Menurut
Soerjono Soekanto, konflik adalah suatu proses sosial di mana orang perorangan
atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang
pihak lawan yang disertai dengan ancamandan atau kekerasan.
Lewis a. Coser : adalah perselisihan
mengenai nilai nilai atau tuntutan tuntutanberkenaan dengan status, kuasa dan
sumber sumber kekayaan yang persediaannya terbatas.
Leopod Von Wiese :suatu proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai dengan ancaman dan kekerasan.
R.J. Rummel :konfrontasi kekuasaan atau kekuatan sosial.
Duane Ruth-hefelbower :adalah kondisi yang terjadi ketika dua pihak atau lebih menganggap ada perbedaan posisi yang tidak selaras, tidak cukup sumber dan tindakan salahsatu pihak menghalangi, atau mencampuri atau dalam beberapa hal membuat tujuan pihak lain kurang berhasil.
Leopod Von Wiese :suatu proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai dengan ancaman dan kekerasan.
R.J. Rummel :konfrontasi kekuasaan atau kekuatan sosial.
Duane Ruth-hefelbower :adalah kondisi yang terjadi ketika dua pihak atau lebih menganggap ada perbedaan posisi yang tidak selaras, tidak cukup sumber dan tindakan salahsatu pihak menghalangi, atau mencampuri atau dalam beberapa hal membuat tujuan pihak lain kurang berhasil.
BAB III
PEMBAHASAN
A. ANALISIS
MALASAH
1. Konflik Tni
Polri
Konflik antara TNI dan Polri dalam
kasus pembakaran Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, kemarin,
diduga disebabkan kesenjangan kewenangan. Terutama dalam penanganan kasus
tewasnya anggota TNI oleh Polri, akhir Januari lalu.
"Tak sepantasnya konflik ini
terjadi antar dua institusi negara. Kejadian ini harus segera diselesaikan oleh
pihak-pihak terkait agar hal serupa tak terulang kembali," ungkap Wakil
Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon kepada wartawan, Jumat (8/3/2013).
Fadli berpendapat, solusi ke depan
adalah memastikan agar proses hukum yang ada berjalan baik dan hukum
ditegakkan. Pihak-pihak yang bersalah, mendapat sanksi yang sepadan.
"Kejadian bentrok TNI-Polri
sudah berulang kali, perlu dikaji akar masalah. Termasuk UU yang menaungi kedua
institusi. Kesenjangan kewenangan adalah salah satu yang perlu
dievaluasi," tegasnya.
Selain itu, komunikasi yang intens
antar anggota TNI-Polri harus dibangun lebih serius, serta memperkuat
komunikasi dua arah mulai dari pimpinan tertinggi hingga level bawah.
Menurut Fadli, kejadian ini
merupakan evaluasi terhadap regulasi yang ada, yakni UU No. 2/2002 tentang
Polri, UU No. 34/2004 tentang TNI, dan UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara.
Namun, aturan pelaksanaan dari
regulasi tersebut belum diselesaikan. Inpres Kamtibmas No. 2/2013 juga masih
belum bisa menjawab gap atau jarak regulasi. "Sehingga, hal ini menjadi
sumber konflik dan presiden harus segera membuat aturan-aturan pelaksanaan yang
memadai," pungkasnya.
Panglima TNI Laksamana Agus
Suhartono menyatakan bahwa kesejahteraan prajurit kini sudah lebih baik. Oleh
karena itu, menurutnya bentrokan yang terjadi di Ogan Komering Ulu, Sumatera
Selatan, harus ditelusuri apa penyebab sesungguhnya untuk mencegah bentrokan
serupa terulang kembali di kemudian hari.
"Saat ini pun TNI kesejahteraannya
sudah baik, tetapi ada hal lain yang harus dipelajari yang mungkin nanti kita
akan cari terus mengarah ke pembinaan lapangan," ujar Agus di Bandara
Halim Perdana Kusumah, Jakarta, Sabtu 9 Maret 2013.
Dalam pandangannya, penyerangan terhadap
Mapolres Ogan Komering ulu oleh puluhan anggota Batalyon Armed 15/ 105 TNI
Tarik Martapura dilatarbelakangi kekecewaan atas penanganan kasus Pratu Heru
Oktavinus, anggota Batalyon 15/105, yang tewas ditembak mati oleh anggota
Polisi Lalu Lintas Polres OKU Brigadir Wijaya saat terlibat perkelahian di Desa
Sukajadi, OKU, pada 27 Januari 2013.
"Mereka datang karena emosi,
ketidakpuasan, sehingga melakukan perusakan," kata Agus.
Oleh karena itu, menurut Agus,
masalah yang sebenarnya pada kasus ini harus diketahui dengan baik dan mendapat
penanganan serius.
"Selama kita masih memahami
setiap manusia punya masalah, tinggal bagaimana kita harus mengelola masalah
sehingga tidak terjadi kerusakan," kata Agus.
Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono telah mencermati kasus bentrokan di Ogan Komering Ulu, Sumarera
Selatan, kemudian mengisntruksikan tim investigasi agar bersikap tegas terhadap
pelaku pelanggaran dari kedua belah pihak.
"Baik TNI maupun Polri,
pasti yang melakukan pelangaran akan ditendak tegas. Instruksi presiden adalah
laksanakan penegakan hukum sebaik-baiknya dan secepatnya, dalam arti yang salah
harus ditindak sesuai peraturan yang berlaku," kata Agus.
Presiden Indonesia ke-3, Baharuddin
Jusuf Habibie, menilai bentrok antara tentara dan polisi di Kabupaten Ogan
Komering Ulu, Sumatra Selatan, bukan cerminan dari institusi.
"Itu bukan soal polisi dan ABRI
(TNI-Red). Itu perorangan," kata Habibie usai memberikan ceramah dalam
Sarasehan Pembangunan Nasional, Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan
di Gedung Bappenas, Jakarta, Jumat (8/3).
Di tempat lain, Habibie memberikan
pendapat, untuk menyiasati masalah tersebut polisi harusnya ditempatkan di
bawah Kementerian Dalam Negeri. "Sudah saya bilang tadi (dalam ceramah
sarasehan-Red) harusnya polisi di bawah Mendagri," ujar Habibie.
Ketika ditanya apakah hal itu
berarti Polri tidak bertanggung jawab kepada presiden, Habibie mengamini.
"Ya," tegasnya.
Bentrokan antara polisi dan tentara
di Ogan, pecah sore kemarin. Dua polisi kritis. Mereka: Kapolsek Martapura OKU
Timur, Komisaris Polisi Riduan; dan anggota Polres OKU, Ajun Inspektur Polisi
Satu Marbawi Aidil. Keduanya kini dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara,
Palembang.
2. Akar
Permasalahan Yang Terjadi antara TNI dan Polri
Serbuan dan pembakaran Mapolres Ogan
Komering Ulu oleh anggota Batalyon Armed 15, pekan lalu, menambah daftar
penjang kisah bentrok TNI-Polri. Tadinya, banyak orang mengira konflik terbuka
tentara-polisi adalah bagian dari proses transisi demokrasi pasca-Orde Baru,
sehingga setelah demokrasi mulai tertata, politik berjalan normal, konflik itu
akan lenyap.
Memang sistem politik demokratis
masih mencari bentuk, tapi stabilitas politik sebetulnya mantab sepanjang 10
tahun terakhir. Kecuali di beberapa daerah konflik, keamanan semakin
terkendali. Namun toh konflik terbuka TNI-Polri tetap terjadi. Memasuki tahun
ke 15 masa reformasi, konflik terus berlanjut, seakan sudah menjadi penyakit
akut.
Bentrok terbuka tentara-polisi,
terlihat jelas pertama kali terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah. Alih-alih
meredakan konflik etnis yang meluas di sana pada awal 2001, pasukan TNI dan
anggota Polri justru saling baku tembak. Hal serupa juga kerap terjadi di
wilayah konflik lainnya seperti Ambon dan Poso.
Rupanya, bukan ketegangan dan salah
koordinasi yang menjadi pemicu bentrok tentara-polisi. Buktinya, di wilayah
damai mereka juga berperang. Saling serang antara Brimob dan Yonif Lintas Udara
100 meletus di Binjai Sumut, sepanjang tiga hari pada akhir September 2002. Lalu
terulang lagi di Atambua dan Gorontalo.
Menurut catatan KontraS, sepanjang
2005-2012, telah terjadi 26 kali bentrok pasukan TNI vs anggota Polri, yang
menewaskan 11 orang dan 47 luka-luka. Korban material juga tak sedikit, mulai
dari amunisi yang terbuang percuma, senjata hilang, motor dan mobil rusak,
hingga pos dan markas terbakar.
Mengapa sejak diterapkannya
kebijakan pemisahan Polri dari TNI lewat Tap MPR No VI/MPR/2000 dan Tap MPR No
VII/MPR/2000, sering terjadi konflik terbuka pasukan TNI vs anggota Polri?
Pimpinan TNI dan Polri selalu
menunjuk faktor ketidaksiapan mental personal sebagai sebab terjadinya bentrok.
Ketidaksiapan mental antara lain dilatari oleh semangat berlebihan dalam
membela kawan, juga karena sifat-sifat superior personal tentara yang kini
berani dihadapi oleh polisi.
Sementara para aktivis LSM,
cenderung menunjuk faktor ekonomi sebagai sebab bentrokan. Dalam hal ini,
konflik terbuka antara kedua kelompok bersenjata itu lebih dimotivasi oleh
rebutan lahan bisnis ilegal, seperti judi, prostitusi dan penebangan kayu
ilegal.
Penjelasan psikologis jelas tidak
memuaskan, karena jika itu benar, tentu konflik antara TNI-Polri juga terjadi
pada masa sebelumnya. Demikian juga, menunjuk rebutan lahan bisnis ilegal juga
tidak bisa menjelaskan fenomena konflik yang beruntun sejak diterapkannya
kebijakan pemisahan Polri dari TNI. Keduanya baru bicara soal pemicu konflik.
Padahal konflik terbuka (yang
ditandai dengan kekerasan fisik, seperti pemukulan, penyiksaan dan pembunuhan
berserta pemicunya) hanyalah fenomena permukaan. Di balik berbagai peristiwa
konflik terbuka tersebut pasti terdapat masalah-masalah yang sifatnya
substantif yang melatarbelakangi dan mendorong terjadinya peristiwa-peristiwa
kekerasan antarpasukan tersebut.
Saatnya para peneliti militer dan
kepolisian, mendalami dan memahami masalah ini, lalu memetakan secara cermat,
sehingga ditemukan jalan keluar yang komprehensif untuk mengatasinya.
Bagaimanapun bentrok antaraparat negara bukan saja memalukan, tetapi juga
merugikan rakyat banyak. Rakyat bayar pajak untuk menggaji mereka, bukan untuk
adu kekuatan sesama, tetapi bela negara dan melindungi rakyat.[2]
3. Penyelesaian
Masalah
Peristiwa bentrokan antara anggota
TNI dan Polri, bukan yang pertama kalinya terjadi. Menurut data Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), sejak 2005 hingga 2012
telah terjadi 26 kali bentrok TNI-Polri. Banyak yang berpendapat Konflik TNI
dan Polri karena faktor ketimpangan dan kesenjangan.
Selain itu, perilaku korup juga
menjadi penyebab gesekan di antara dua lembaga negara ini, seperti dalam kasus
korupsi simultor. Konflik TNI-Polri sangat memprihatinkan. Peristiwa itu juga
membuat kekhawatiran di masyarakat. Sebab, karena kedua aparat negara ini
memiliki otoritas untuk menggunakan senjata api modern yang mematikan. Konflik
di antara mereka dapat mengancam keamanan dan pertahanan negara. Padahal mereka
seharusnya merupakan garda terdepan penjaga keamanan dan pertahanan negara.
Permasalahan tersebut membutuhkan
kajian yang komprehensif dan kebijakan yang konkrit. Hal itu agar peristiwa itu
tidak meluas dan tidak terluang kembali. persoalan utama konflik TNI-Polri,
karena tak pernah diketahui secara tepat akar konflik itu sendiri. Analisis
yang selama ini beredar lebih banyak dugaan, tanpa dasar penelitian akademik
yang objektif.
Dugaan dan prasangka itu seperti
perebutan rezeki, psikologi polisi yang tidak dibayangi tentara, dan tentara
yang mudah tersinggung. Sudah waktunya menyelesaikan permasalahan dengan data
objektif, karena tidak ada jaminan besok tidak terjadi lagi.[3]
a. Konflik TNI
versus Polri: Skema Pelemahan NKRI dari Sisi Internal
Dalam diskusi terbatas di Global
Future Institute (GFI), Jakarta pimpinan Hendrajit, diperoleh pointers bahwa
konflik internal di suatu negara sesungguhnya cuma TEMA dari sebuah SKEMA yang
hendak ditancapkan oleh sang Pemilik Hajatan. Artinya apapun bentuk dan warna,
baik itu konflik vertikal maupun horizontal, hanya susulan daripada isu-isu
yang sebelumnya ditebar (tersebar) dipublik. Selanjutnya apakah sukses atau
tidak, berhasil atau gagal dari sebuah tema berubah menjadi skema, sangat
tergantung daripada segenap komponen bangsa menyikapi. Sedang pada diskusi
terbatas di forum KENARI (Kepentingan Nasional RI) pimpinan Dirgo D Purbo,
pakar perminyakan, tampaknya lebih “keras” menyikapi konflik-konflik yang
sekarang marak terjadi. Conflict is protection oil flow and blockade
somebody else oil flow. Ya, konflik diletuskan hanya sebagai alih perhatian
guna memblokade kepentingan orang lain dan bahkan melindungi skema aliran
minyak agar tidak digugat siapapun, sebab bangsa tersebut disibukkan oleh isu
dan tema-tema yang dibuat. Benang merah pointers diskusi di atas terlihat sama,
yaitu konflik cuma sekedar tema belaka!
Dokumen GFI mengisyaratkan, bahwa
model kolonialisme yang dikembangkan kini ialah asimetris (non militer).
Lazimnya pola asimetris, diawali dengan tebaran isu ke tengah-tengah
masyarakat, kemudian dimunculkan tema gerakan dan berujung pada skema. Ya,
skema merupakan ruh atau inti tujuan kolonialisasi.
Contohnya ialah Arab Spring atau
“Musim Semi Arab”. Dari perspektif politik global, ternyata ia hanya “tema
gerakan” melalui kekuatan massa setelah opini publik terbentuk via isu-isu
(korupsi, kemiskinan, pimpinan tirani dll) yang digencarkan oleh media,
facebook, twitter dan lain-lain. Sedangkan “skema” yang diusung oleh
kepentingan Barat di Jalur Sutra (Timur Tengah, Afrika Utara dll) adalah
penggusuran rezim, atau istilahnya tata ulang kekuasaan. Inilah pola
kolonialisme dari model asimetris asing yang mulai terendus.
Tatkala “Save KPK” di Indonesia
kemarin marak, memang sempat dinilai sebagai TEMA gerakan sebab indikasinya
sama dengan pola Arab Spring. Misalnya isu yang ditebar soal korupsi (bukankah
korupsi di Indonesia diciptakan melalui sistem?), ada isu pemimpin atau
institusi tirani, sangat berperannya media, jejaring sosial dan lainnya.
Kemudian bila membandingkan aktor atau pemrakarsa gerakan massa antara Arab Spring
di Jalur Sutra dengan Save KPK ternyata sama pula, yaitu Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang menginduk kepada lembaga donatur internasional atau
memiliki link up ke LSM asing. Secara tersirat, sejatinya TEMA model asimetris
ala KPK hampir sukses di Bumi Pertiwi. Namun syukurlah tema tersebut gagal
melaju ke tahap berikut. Entah kenapa. Karena ketiadaan dana, kurang dukungan,
atau keburu ketahuan?
Contoh lain masalah rumor flu
burung. GFI melihat rumor tersebut cuma sekedar isue semata, karena tema yang akan
diangkat ialah daging mahal atau daging langka, maka skema yang menjadi tujuan
pokok adalah impor daging mutlak harus dilestarikan baik kualitas maupun
kuantitasnya di Indonesia. Jelas sudah, bahwa skema kolonialis yang tengah
disiapkan via isu flu burung adalah “jerat impor” bagi bangsa ini. Demikian
pula untuk bidang pangan lainnya seperti beras, ikan, singkong, kedelai, gula,
garam, bawang-bawangan, dll sehingga republik ini “dibuat” seperti tidak
memiliki kedaulatan sama sekali atas pangan, padahal secara fisik semuanya ada,
nyata dan bahkan berlimpah.
Teringat statement Henry Kissinger
(1970), “Control oil and you control the nations, control food and you
control the people” (Kontrolah minyak kamu akan mengontrol negara, kontrol
pangan maka anda mengendalikan rakyat). Sekali lagi, retorika menggelitik pun
timbul: “Apakah bangsa ini tidak sedang dilumpuhkan kedaulatan pangannya
melalui skema jerat impor oleh asing?”. Retorika ini tidak butuh jawaban agar
artikel ini bisa diteruskan. Tetapi yang lebih mengerikan lagi ialah isyarat
Vandana Shiva, bahwa bila kolonialisasi lama hanya merampas tanah, sedangkan
kolonialisasi baru merampas seluruh kehidupan!
Merujuk judul dan uraian di atas,
mencermati konflik antara TNI versus Polri di Ogan Komering Ulu (OKU) dari
perspektif politik global, sesungguhnya kasus tersebut hanyalah tema belaka.
Lalu apa kelanjutan skema? Hasil diskusi GFI merekomendasi bahwa konflik antar
aparat di OKU diprakirakan merupakan skema pelemahan bangsa via
pencerai-beraian elemen dan pecah belah dari sisi internal. Ini yang mutlak
diwaspadai bersama oleh segenap tumpah darah Indonesia dimanapun berada dan
berkiprah.
Tak dapat dipungkiri, TNI-Polri
adalah organ-organ perekat bangsa. Bahkan di antara berbagai elemen-elemen
bangsa lain, keduanya masih solid hingga kini, sebab keduanya merupakan anak
kandung revolusi (kemerdekaan) dulu. Tak bisa tidak, TNI-Polri itu benteng
terakhir dari sebuah sistem kedaulatan bangsa. Apabila retak kedua institusi
niscaya bakal pecahlah bangsa dan negara. Ini harus disadari bersama oleh
segenap komponen bangsa!
Jujur harus diakui, dinamika politik
menjelang 2014 kendati terlihat glamour namun tidak bermakna apa-apa bagi
kesejahteraan rakyat, apalagi untuk Kepentingan Nasional RI. Segenap elit dan
partai politik dibuat sibuk, asyik dan porak-poranda oleh korupsi; organisasi
massa dibentur-benturkan melalui pragmatisme; para pemuda dan mahasiswa
diracuni narkoba serta disusupi dogma-dogma impor atas nama kebebasan dan
demokrasi di tataran hilir, dll. Tampaknya media massa terutama media
mainstream memiliki kontribusi luar biasa atas “keretakan” yang tengah terjadi
pada bangsa ini, karena media massa cuma sekedar memberitakan secara gegap
gempita tentang isu-isu, tema, kemudian ke isu lagi, lalu ke tema lagi,
demikian seterusnya cuma mengejar gegap rating tanpa solusi jelas.
Mengakhiri handout singkat lagi
sederhana ini, kiranya segera dihentikan dampak dan polemik yang merambah
kemana-mana justru semakin menjauh dari Kepentingan Nasional RI. Padamkan
solidaritas sempit dan jangan kembangkan ego sektoral yang kontra produktif,
agar tema yang sudah tergelar di OKU tidak melaju ke tahap skema gerakan asing,
yakni pelemahan NKRI dari sisi internal melalui konflik antar TNI versus Polri.
BAB 4
Kesimpulan : bahwa konflik antara TNI dan polri
berlatar belakang hanya iri sesama anggota aparat indonesia yang mereka berfikir
kalo pemerintah itu pilih kasih terhadap mereka dan beberapa oknum aparat
negara juga menjadi berlatar belakang masalah dikarenakan menjadi profokator
dan mendoktrin para prajurit muda dan juga para polisi muda dan mereka pun
tidak saling menghargai
Saran : untuk
sesama anggota aparat indonesia kita harus saling menghargai dan membantu
sesama anggota aparat jadi mereka bisa berfikir atau merasaka apabila dalam
kondisi yang sama mereka pun akan merasakan hal yang sama juga dan menjadi hal
pembelajaran kalo mereka bertugas untuk masyarakat indonesia
Daftar
[4] http://catatanmap.wordpress.com/2013/03/11/konflik-tni-versus-polri-skema-pelemahan-nkri-dari-sisi-internal/